Ini adalah cerita sex-ku yang asyik. Namaku Joko (samaran), tinggiku 171 cm, berat ideal. Akumemiliki wajah yang ganteng dan penis yang lumayan untuk membuat cewek tegang dan lemas. Aku mempunyai daya sex yang kuat sekali, sering aku melakukan onani dengan dengan nonton BF dan berkhayal tubuh sintal dan seksi, lalu memasukkan penisku ke vagina cewek. Aku sering nonton BF dan diiringi meremas-remas penis sampai aku tegang dan keluar sperma. Ini biasanya aku lakukan sampai tiga kali dalam satu kali nonton BF. Aku suka susu cewek yang besar dan kenyal. Aku paling suka kalau bermain sex dengan posisi aku di bawah dan cewek yang memainkan vaginanya di atas tubuhku sambil melihat pantat besar dan mulus yang naik turun dan bergoyang.
Cerita ini bermula dari kecelakaan kecil yang menimpaku. Seperti biasa, sore hari aku menyempati jalan-jalan dengan motor kesayanganku, dengan memakai jeans dan jaket kesayanganku, dengan kecepatan yang tidak begitu cepat. Aku lihat ke kanan dan ke kiri, tiba tiba ada motordari belakang dengan kecepatan tinggi menyerempetku. Sekilas aku kaget dan berusaha minggir, tapi sial aku malah jatuh karena tepi jalan itu ada batu batu kecil yang menyebabkan ban motorku tergelincir dan akhirnya aku tertimpa motor dan yang menyerempetku tadi langsung tancapgas (kabur)! Setelah itu aku berusaha bangun dengan pertolongan orang orang di sekitar situ. Aku terluka di bagian kaki (paha atas, lengan atas dan dada), sebenarnya luka ini tidak begitu serius bagiku, tapi aku kagum sekali dengan pertolongan orang-orang di sekitar situ yang penuh simpatik.
Setelah beberapa detik kejadian itu, aku langsung dibawa ke dalam sebuah rumah dekat kejadian. Ya, seperti biasa menghindari campur tangan polisi. Setelah aku dimasukkan di dalam sebuah rumah dan motorku di depan rumah itu, aku disuruh duduk oleh seorang cewek yang ternyata pemilik rumah itu. “Adik duduk aja di sini, biar ibu ambilin obat ya…” kata cewek itu dan segera masuk ke dalam kamarnya yang letaknya di depanku. Perkiraanku cewek ini umurnya sekitar 36, meskipun umurnya ya… cukup tua sih. Tapi cewek ini bodinya oke sekali deh, tingginya sekitar 165 cm susu yang montok berukuran sekitar 36B dan masih terangkat dengan menggunakan kaos yang longgar dan pantat yang besar sekali karena pada waktu itu dia pakai rok pendek sampai lutut dan kelihatan betis yang mulus dengan ditumbuhi rambut halus. Aku sempat berkhayal untuk memegang pantatnya yang besar sekali, kuremas-remas sambil memasukkan jariku ke lubangkenikmatannya.
Setelah beberapa menit dia mencari obat merah di kamarnya, dia memanggil anaknya, “Sri.. Sri…ambilin minum tuh… buat Mas-nya!” ternyata dia punya anak perempuan yang namanya Sri, umurnya sekitar 17 tahun. Setelah berhasil menemukan obat merah, lalu menghampiriku,
“Wah… ini lukanya parah sekali Dik…” sambil membuka tutup obat merah.
“Ah.. nggak kok Bu… biasa aja kok,” kataku sambil memperhatikan susunya yang montok tergelantung itu.
“Nama Adik siapa?” tanya ibu itu sambil meneteskan obat merah di lengan atasku.
“Joko Bu, aduh pedih sekali… pelan-pelan Bu…!”
“Maaf ya… Dik Joko, oh ya nama ibu Neneng,” katanya sambil meneteskan ulang obat itu di lengan atasku.
Dan tidak disengaja susu Neneng itu menyenggol sikuku.”Oh… maaf Bu… tidak sengaja,” tanyaku sambil melihat susu Neneng yang membuat penisku agak tegang.
Dia hanya tersenyum dan tertawa kecil.
“Lho… Dik Joko yang kena yang mana lagi, kelihatannya celana kamu sobek tuh…” katanya sambil memegang celanaku yang sobek itu.
“Ya… Bu itu di bagian paha atas dan di dada ini,” sambil membuka sedikit kaos yang kupakai.
“Yang ini harus diobati loh, entar kalau tidak cepet diobati berbahaya, kaki kamu bisa di luruskan nggak?” kata Bu Neneng.
“Agak linu Bu… karena bagian paha sih…” kataku sambil mencari kesempatan melihat susu.
Pada waktu itu tepat dudukku tidak memungkinkan aku meluruskan kakiku.
“Ya… sudah ke kamar Ibu dulu situ berbaring biar kakimu bisa diluruskan,” kata Bu Neneng sambil membantuku berdiri dan berjalan.
“Ya… Bu… tapi…?” tanyaku ragu.
Nanti disangka macam-macam, tapi memang niatku untuk berusaha nge-sex sama Bu Neneng yang montok itu.
“Tapi apa, oh… kamu malu ya… nyantai aja kamu kan teluka dan perlu pengobatan, sudah masuk ayo Ibu bantu!” sambil melingkarkan tangan kanan di pundak Bu Neneng aku berjalan.
Dan tidak disengaja waktu berjalan, jari-jariku menyentuh permukaan susu montok Bu Neneng tapi aku tidak merubahnya, malah kugesek-gesekkan dengan pelan-pelan agar tidak ketahuan kalau disengaja, terasa puting susu Bu Neneng yang kenyal menyebabkan penisku tegang. Dan sampailah di tempat tidur Bu Neneng.
“Sudah Dik Joko, mana yang luka lagi?” sambil duduk di sampingku dan membelakangiku sementara aku terlentang, otomatis tanganku menempel di paha mulus Bu Neneng.
“Di dada sini Bu,” kataku sambil membuka ke atas kaosku agar kelihatan lukanya.
“Ya… sudah dilepas dulu kaosnya, entar kalau kena obat ini kan jadi merah,” katanya basa-basi.
Aku langsung buka kaosku, dan sekarang aku telanjang dada.
“Nah gini kan bisa leluasa mengobati kamu,” sambil mendekat ke dadaku, dan otomatis aku melihat dengan jelas susu Bu Neneng tergelantung dan ditutupi oleh BH yang tidak muat menampung besarnya susu Bu Neneng dan tanganku makin kurapatkan ke paha dan sekarang sudah di atas paha mulus Bu Neneng. Dan pada waktu Bu Neneng meneteskan obat, aku terasa pedih dan dengan refleks tanganku terangkat sehingga menyenggol susu Bu Neneng dan rok mini Bu Neneng terangkat ke atas, terlihat paha yang mulus itu.
“Maaf ya.. Bu, Joko tidak sengaja kok,” pintaku sambil menurunkan tanganku ke paha Bu Neneng yang mulus dan putih itu.
“Ya.. tidak apa-apa kok,” sambil meneruskan meneteskan lagi di bagian dadaku yang luka.
Sekarang dia agak ke atas dan membungkukkan dirinya, otomatis susu yang montok itu dekat sekali dengan wajahku itu. Aku tidak tahu ini disengaja atau tidak, tapi buatku disengaja atau tidak tetap saja membuat penisku makin tegang. Lama-lama kok posisi Bu Neneng makin membungkuk dan sampai suatu saat susunya tersentuh dengan mulutku. Wah, terasa kenyal dan empuk, aku tidak diam saja, aku berusaha pelan-pelan menggeser tanganku yang di paha mulus Bu Neneng itu, pelan dan pelan karena aku takut Bu Neneng marah karena ulahku ini. Dengan nafsu yang kutahan, aku gerak-gerakkan tanganku. Waduh.. paha orang ini mulus sekali, batinku sambil merasakan penis yang menegang kepingin lepas dari sangkarnya (CD-ku), dan sampailah aku di pangkal paha Bu Neneng itu dan menyentuh CD Bu Neneng yang kelihatan memakai CD warna hijau kembang dan kepalaku bergerak ke kanan dan ke kiri untuk menggesek susu Bu Neneng (pelan-pelan), dan sesekali kujilat halus susu montok itu, waktu itu Bu Neneng diam saja dan terus mengobati dadaku yang luka tapi nafas Bu Neneng tidak bisa disembunyikan, sering dia menarik nafas panjang untuk menahan nafsunya.
“Sudah nihhh… Semua luka kamu di dada sudah diobati, sekarang mana lagi yang terluka?” sambil melihatku dan membiarkan tanganku di pahanya yang mulus itu.”Itu Bu.. di paha atas,” jawabku sambil menunjukkan tempat yang luka.”Wow… Ya ini harus dibuka Dik Joko, kalau tidak dibuka dimana ibu bisa mengobati apalagi kamu pakai jeans yang ketat.. ya sudah dicopot aja!” jawab Bu Neneng sambil melihat dengan dekat luka dari luar celanaku dan sesekali lihat penisku yang sudah tegang dari tadi.
“Bu… bisa bantuin copot celanaku, aku tidak bisa copot sendiri Bu, kan tanganku luka,” alasanku agar Bu Neneng bisa lihat penisku dari dekat.
Tiba-tiba Sri datang dengan membawa air putih.
“Bu ini airnya..”
“Ya.. sudah sekarang kamu keluar, e.. jangan lupa tutup pintunya, ibu mau obati Mas Joko dulu!”
Wah ini kesempatanku untuk melampiaskan sex-ku. Setelah itu Bu Neneng mulai membuka resleting celanaku dan membuka bagian atas dan aku mengangkat sedikit pinggulku supaya Bu Neneng mudah melepas celanaku. Saat membuka celanaku, posisi Bu Neneng membungkuk sehingga mulutnya dekat dengan penisku yang tegang, dan aku sengaja mengangkat pinggul yang lebih tinggi dan tersembullah penisku dan mulut Bu Neneng… “Sorry Bu.. tak sengaja,” mulai saat itu penisku mulai tegang sekali karena cara Bu Neneng membuka celanaku sangat merangsang penisku.
Sambil sedikit menungging dan menggerakkan sedikit pantat yang besar itu, Bu Neneng melepas celana jeans-ku (apa ini usaha Bu Neneng untuk merangsang nafsuku), dan akhirnya aku sekarang tinggal pakai CD. Dan mulailah Bu Neneng mengobati paha atasku dengan posisi nungging membelakangiku dan sedikit siku tangannya menyentuh penis yang sudah tegang. Sesekali BuNeneng melihat penisku dan menggesek-gesekkan sikunya di penisku itu. Dengan melihat gelagat Bu Neneng ini yang memberi peluang padaku, aku tidak diam aja. Dengan melihat pantat yang besar menghadap kepadaku, tanganku mulai sedikit meremas-remas dan mengelus betis lalu menuju ke atas paha yang mulus dan akhirnya aku sampai ke paling atas (pantat mulus Bu Neneng) dan aku nekat mengangkat rok mini Bu Neneng ke atas sehingga sekarang terlihat pantat Bu Neneng yang mulusitu dengan ditutupi CD yang menyelepit di belahan pantat.
Aku mulai mengelus-elus, dan sesekali menarik CD Bu Neneng dan ternyata sudah basah dari tadi.Lalu aku memainkan jariku di permukaan vagina yang tertutup CD itu, Bu Neneng mungkin sudah tahu gelagatku itu sehingga dia merenggangkan kedua pahanya, jadi sekarang terlihat jelas CD Bu Neneng yang basah. Sekarang aku memberanikan diri untuk melihat secara langsung vagina Bu Neneng yang kelihatan sudah tidak sabar untuk dimasuki rudalku yang sudah tegak berdiri. Akumulai menggeser CD Bu Neneng ke kiri dan kelihatan dengan jelas vagina Bu Neneng yang sudah memerah itu. Lalu aku perlahan-lahan menggesek-gesekkan jariku di permukaan vagina Bu Neneng dan dengan reaksi itu nafas Bu Neneng mulai tak beraturan, “Eeehhh… ahhh… ohhh hemmm..” dan sekarang aku memasukkan jari tengahku ke lubang kenikmatan Bu Neneng dengan pasti dan kukocok dan terus kukocok dengan pelan-pelan dan lama-lama semakin cepat dan… “Ah.. oh yes te… rus… please… ah… ohe.. lebih dalam.. Jook… ” Bu Neneng mulai membuang obat merah itu dan sekarang tidak mengobati lukaku lagi malah sekarang dia sudah mulai mengocok dan meremas dengan kuat penisku.
Aku kurang puas dengan posisi ini, aku mulai mengangkat salah satu kaki Bu Neneng ke sampingku dan sekarang posisi 69 yang kudapat, dan vagina Bu Neneng tepat di depan mulutku. Aku mulai menjilat klitorisnya, dan kusedot kecil dan kupermainkan pinggir vagina Bu Neneng dengan lidahku yang indah itu. “Oh.. ya… enak sekali hisapanmu Jok… Oh aughhh ahhh yes… terus!” dan aku mulai memasukkan lidahku ke dalam lubang yang basah itu dan terasa asin tapi gurih.
“Oh… ah… terus… kont*l kamu tegang sekali Joko…”
“Ya.. Bu jilat… jilat dong..!”
Tanpa banyak kata Bu Neneng terus melumat habis penisku.
“Oh… ya… ya… terus yang keras lagi…!”
Bu Neneng memang lihai dalam hal oral, tidak satu bagian pun dari penisku yang terlewatkan dari lidah birahi Bu Neneng. Telur penisku terlahap juga dengan mulut binalnya. Bu Neneng tidak puas sampai di situ, sekarang dia mengangkat pantatku lebih tunggi dan kelihatan jelas lubang anusku dan sekarang mempermainkan lidahnya di lubang anusku. Oh, terasa geli bercampur nikmat sampai ujung rambut, pada waktu itu juga Bu Neneng tidak kuat menahan nikmat yang dia rasakan, dan aku tahu kalau Bu Neneng mau orgasme yang pertama kalinya, aku mempercepat gerakan lidahku diklitorisnya, dan mempercepat kocokkan jariku di vaginanya dan akhirnya… “Jo… ah ye.. yea.. aku tidak tahan Jok.. a.. ku.. ke.. luaaar…” dan “Serr… serrr..” terasa semprotan kuat dari vagina Bu Neneng kena jariku.
Cairan putih kental yang keluar dari vagina Bu Neneng kusedot habis sampai bersih cairan kenikmatan Bu Neneng tersebut. Dia sekarang tergeletak lemas di sampingku.
“Bu Neneng masih kuat? Apa cukup saja Bu?” tanyaku disamping memelintir puting susunya yangkuharapkan sex Bu Neneng kembali lagi dan terangsang.
“Ah.. kamu jantan sekali Jok! Aku tidak nyangka kamu kuat sekali, kamu belum keluar?” tanya Bu Neneng sambil mengocok halus kemaluanku yang masih tegang itu.
“Belum Bu! mau lagi atau…”
Belum aku berhenti ngomong Bu Neneng mulai memasukkan penisku ke mulutnya dan dijilat, disedot dan dikocok, sedangkan aku di pinggir tempat tidur dan Bu Neneng di atas tempat tidur denganposisi nungging, dan aku tetap meremas-remas dan sesekali kupelintir-pelintir puting Bu Neneng itu.
“Aah… terus Bu…! lebih dalam Bu…! yes hemmm Aah… sessttt aahh…”
“Jok… masukin aja ya… aku pingin ngerasain penis kamu ini,”
Lalu aku memutarkan tubuh Bu Neneng dengan posisi nungging dan aku mulai mengarahkan penisku ke lubang Bu Neneng tapi aku tidak langsung memasukkan penisku, kugesek-gesek dulu ke permukaan vagina Bu Neneng.
“Ah.. ya… masukkan Jok.. cepet aku tidak tahan nih… oh… ce… pet!”
Aku langsung memasukkan ke lubang Bu Neneng.
“Blesss… sleppp…”
“Ah… ye…” erang Bu Neneng menerima serangan batang kemaluanku.Aku mulai memajukan dan memundurkan penisku dengan pelan tapi pasti dan sekarang aku tambah frekuensi kecepatan kocokanku.
“Ah… ya.. penis kamu.. hebat Jok.. keras, te.. rus.. oh.. ssst… ah…”
Aku semakin terangsang dengan erangan Bu Neneng yang menggeliat-liat seperti cacing kebakar. Aku angkat kaki kanannya untuk mempermudah jelajah penisku untuk sampai ke rahimnya dan makin mempercepat kocokanku.
“Oh ya.. aughhh.. ssttt teruss.. jangan ber.. henti.. ah… ke.. rass.. Joko.. hebat…”
Dan akhirnya,
“Jok… lebih cepet…! aku mau ke.. luar.. aku.. tidak… oh.. ye.. tahan… la.. gi.. ah… oh shhh…”
Dan akhirnya dia menyemprotkan cairan kenikmatannya, “Serr.. serr…” terasa ujung penisku disemprot dengan cairan hangat yang kental. Sekarang Bu Neneng tergulai lemas di hadapanku. Aku memperhatikan tubuh Bu Neneng yang montok dengan susu yang besar, dengan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
Aku tetap mengocok sendiri penisku biar tetap tegang, dan aku mulai tidak kuat, mungkin ini waktunya aku untuk mengakhiri permainan sex-ku.
“Bu… permisi, aku mau mengakhiri tugasku ini…”
Dengan mengangkat tubuh Bu Neneng ke pinggir tempat tidur, dan membuka lebar-lebar paha Bu Neneng sehingga terpampang vagina Bu Neneng yang masih basah dengan cairan kenikmatannya, aku mulai memasukkan penis dan mengocoknya.
“Ah.. kau nakal ya.. Jok.. aughhh hemmm.. terus Jok…”
Aku dengan semangat “45″ kukocok habis vagina Bu Neneng dengan menggesek-gesek klitorisnya dengan jari jempolku untuk mempercepat dia untuk orgasme ketiga kalinya, dan…
“Bu… aku mau ke… luar.. ah.. ye… di.. mana.. ini… dalam atau di luar… oh ye!” sambil mempercepat kocokan jari dan penisku.
“Ya.. aku juga Joko… uh.. uh.. hemm… sstt.. kita.. barengan di dalam.. oh ye..”
Bu Neneng tidak kuat lagi ngomong kecuali merem-melek tahan nafsu, dan akhirnya aku keluar di dalam vagina Bu Neneng, “Crottt.. crottt…” sampai lima kali semprotan dan dibarengi dengan erangan dan getaran tubuh Bu Neneng, “Oh… yak.. yes… hemmm…” Lalu kucabut penisku dan kupukul-pukulkan di permukaan vagina Bu Neneng dengan reaksi Bu Neneng mengangkat tubuhnya akibat vaginanya kupukul dengan penisku.
“Bu Neneng hebat sekali deh, makasih ya Bu…”
“Kamu juga hebat banget Joko.. Ibu sampai kualahan menghadapi kont*l kamu yang tegap ini. Wah… kont*l kamu ini harus dibersihkan dulu ya…”
Dia langsung mengarahkan penisku ke mulutnya dan dilahap langsung dan dikocok-kocok habis.
“Wow… oh… ye.. teruus.. yesss… sseessttt ahh ya…”
Ini membuatku tegang lagi, dan Bu Neneng tak henti-hentinya mengocok dan mengulum penisku yang tegang sekali.
“Bu… stop.. augghhhh he… stooop aku.. tak.. tahan..”
Dan…
“Croot… croottt…”
Kukeluarkan spermaku untuk kedua kalinya di wajah Bu Neneng, dan aku tergeletak lemas di atas susu Bu Neneng.
“Nah.. sekarang kan Bu Neneng tidak kalah banget toh.. ya.. dua-tiga lah…!”
“Makasih ya.. Jok… kamu hebat dalam permainan sex, kapan-kapan kita lagi ya.. sudah kamu tidur dulu deh!”
Lalu aku tertidur sampai malam, dan sebelum aku pulang ke kost-ku, sempat Bu Neneng minta untuk oral sekali lagi.
Itulah salah satu pengalamanku tentang sex. Bagi para cewek-cewek yang membutuhkan penyaluran sex yang aman dari penyakit apapun, aku siap melayani anda (oral, konvesional dan unkonvesional, dan lain-lain). Anda tidak akan rugi dengan sex yang yang aman dariku, PM saya, pasti kubalas. Yang jelas ya, yang pasti harus cewek tulen. Sampai jumpa dengan pengalaman sex yang paling aman dari penyakit apapun dariku. See you!
TAMAT
Kamis, 12 Agustus 2010
Aku Tergoda Tante Girang Mona
kali ini tentang pengalamanku ( kalian bisa panggil aku setio 32 tahun) selingkuh dengan wanita paruh baya bernama tante mona yang sudah berumur 42 tahun, sebenarnya saya sudah menikah namun sampai usia 4 tahun pernikahaan saya belum juga di karuniai anak.
Karena cintaku pada istriku, tidak ada niat untukku berselingkuh, tapi sejak perkenalanku dengan wanita itu, aku tergoda untuk selingkuh. Perkenalanku dengan wanita itu berawal 2 tahun yang lalu, saat kakak istriku mau menikah, kami mengunjungi rumah calon mempelai wanita untuk melamar, aku melihat seorang wanita berumur kira-kira 40 tahunan yang kutahu dia adalah istri dari pamannya calon pengantin wanita, dan kutahu kemudian namanya Tante Mona, karena kami sama-sama panitia perkawinan iparku.
Awalnya kuanggap biasa perkenalan ini, tetapi pada waktu hari perkawinan iparku, aku terpana melihat kecantikan Tante Mona yang memakai baju kebaya bordiran, sehingga lekuk tubuh dan bentuk payudaranya terbayang ditutupi kemben (pakaian kain Jawa) hitam yang membuatku ingin sekali melirik kemana perginya Tante Mona dan membayangkannya di saat Tante Mona telanjang.
Setelah acara pernikahan itu selesai, otomatis kami jarang sekali bertemu, karena Tante Mona harus menemani suaminya yang tugas di Surabaya. Hampir satu tahun lamanya aku ingin melupakan dirinya, tetapi ketika iparku memiliki anak, aku bertemu lagi dengan Tante Mona pada waktu menengok bayi. Saat itu Tante Mona mengenakan baju dan jeans ketat, sehingga lekuk tubuhnya membayangi lagi pikiranku yang terbawa hingga kutidur.
Sebulan kemudian, ketika acara syukuran bayi iparku, tante Mona datang dengan suaminya dan ibunya Tante Mona yang duduk di kursi roda akibat sakit stroke yang katanya sudah 4 tahun diderita. Dan dari iparku, kuketahui Tante Mona sekarang satu bulan di Jakarta untuk menjaga ibunya dan satu minggu menemani suaminya di Surabaya.
Seminggu setelah itu, temanku datang ke rumah untuk menawarkan bisnis “MLM” berbasis food suplement yang dapat membuat beberapa penyakit sembuh. Langsung pikiranku tertuju kepada ibunya Tante Mona. Setelah dapat nomor telpon Tante Mona dari iparku, aku langsung menghubunginya. Setelah obrolan kami, Tante Mona setuju untuk mencobanya terlebih dahulu. Keesokan harinya, ketika aku mengantar obat itu, aku berharap bisa ketemu Tante Mona, tapi karena ibunya sedang anval, otomatis aku hanya bertemu pembantunya.
Satu minggu kemudian, tiba-tiba HP-ku berdering, sebenarnya aku malas menerimanya karena nomor yang tertera tidak kukenal, tapi dengan agak malas kuterima juga telpon itu yang rupanya dari Tante Mona.
“Dik.. Setio, ya..? Disini Tante Mona.”
“Eh.. iya Tante.. apa khabar..?”
“Wah.., Dik.. tante senang loh kayaknya obat yang adik kirim buat ibu bagus sekali, ibu sekarang sudah nggak pakai kursi roda lagi.. kalau begitu tante pesan lagi yach..? Kapan bisa kirim..?”
“Selamet deh Tante.. eng.. kalau begitu besok siang deh.. Tante.. saya kirim ke rumah..!”
“Ya.. sudah.. sampai besok yach..!”
Keesokannya, pukul 11:00 aku ke rumah Tante Mona. Ketika sampai, aku disuruh menunggu oleh pembantunya di ruangan yang sepertinya ruang perpustakaan. Tidak lama kemudian Tante Mona muncul dari pintu yang lain dari tempat kumasuk ruangan itu. Saat itu Tante Mona mengenakan baju model jubah mandi yang panjang dengan tali di pinggangnya, dan mempersilakan aku duduk di sofa yang dia pun ikut duduk, sehingga kami berhadapan. Ketika dia duduk, satu kakinya disilangkan ke kaki yang lain, sehingga betisnya yang bunting padi dan putih bersih terlihat olehku, membuat pikiran kotorku kepada Tante Mona muncul lagi.
Kami mengobrol panjang lebar, Tante Mona menanyakan hal tentang perkawinanku yang sudah 4 tahun tetapi belum dikaruniai keturunan, sedangkan dia menceritakan bahwa sebenarnya Tante Mona menikah disaat suaminya telah mempunyai anak yang sekarang sudah kuliah. Setelah hampir satu jam kami mengobrol, Tante Mona mengatakan padaku bahwa ia senang kalau ibunya sudah agak membaik.
“Oh.. ya berapa nih harga obatnya..?”
“Ah.. sudah Tante, nggak usah, gratis kok, tujuan saya khan yang penting Ibu bisa baik.”
“Ah.. nggak lah Dik, Tante ambil dulu yach uangnya di kamar.”
Tante Mona berdiri dan masuk ke pintu tempat tadi dia datang, tapi pintu itu dibiarkannya terbuka, sehingga kulihat kalau kamar di sebelah ruang kududuk adalah kamar tidur Tante Mona. Dari dalam dia teriak ke arahku menanyakan harganya sambil memanggilku.
“Dik.. Setio, berapa sih harganya..? Kamu sini deh..!”
Dengan agak ragu karena perasaanku tidak enak masuk kamar orang lain, kuhampiri juga Tante Mona.
Begitu sampai di pintu, aku seperti melihat suatu mukjizat, dan tiba-tiba perasaanku terhadap Tante Mona yang pernah ada dalam pikiranku muncul. Tante Mona berdiri di samping tempat tidurnya dengan jubah yang dipakainya telah tergeletak di bawah kakinya. Aku melihat tanpa berkedip tubuh Tante Mona yang sedang berdiri telanjang dada dan pangkal pahanya tertutup celana dalam berwarna pink memperlihatkan sekumpulan bulu hitam di tengah-tengahnya.
“Dik, kalau kamu nggak mau dibayar sama uang, sama nafsu Tante Mona aja yach..? Kamu mau khan..?”
“E.. e.. eng.. bb.. boleh deh Tante..!”
Tiba-tiba kali ini aku bisa melihat Tante Mona yang setengah bugil dan memohon kepadaku untuk melayani nafsunya, kuhampiri dia sambil menutup pintu. Bentuk tubuh Tante Mona sungguh indah di mataku, kulitnya putih bersih, payudara yang berukuran 36B berdiri dengan tegaknya seakan menantangku, lekukan paha dan kaki jenjangnya yang indah dan betisnya yang bunting padi, persis bentuk tubuhnya penyanyi Jennifer Lopez. Aku seakan tidak bisa menelan ludahku karena Tante Mona sekarang tepat berdiri di depanku.
“Dik.. Setio, layani Tante yach..! Soalnya sudah dua bulan Tante tidak dijamah Om..”
“Iya.. Tante, ta.. tapi.. kalau anak-anak Tante datang gimana..?”
“Anak-anak kalau pulang jam 5:00 sore, lagi itu kan anak-anaknya Om.”
“Ok.. deh Tante, Tante tau nggak, kalau hal ini sudah saya impikan sejak pernikahan Desi, soalnya Tante seksi banget sih waktu itu.”
“Sekarang.. sudah nggak seksi dong..?”
“Oh.. masih.. apa lagi sekarang, Tante kelihatan lebih seksi.”
Bibir tipisnya mencium bibirku dengan hangat, sesekali lidahnya dimainkan di mulutku, aku pun membalasnya dengan lidahku. Tangan lembutnya mulai melepaskan dasi dan bajuku hingga kami sudah telanjang bagian atasnya. Dada bidangku mulai diciumi dengan nafsunya, sementara lehernya dan pundaknya kuciumi. Wangi tubuhnya membuat nafsuku juga meningkat, sehingga batangku mulai mengeras mendesak celana dalamku. Tangannya mengelus celanaku di bagian batangku yang sudah mengeras, sedangkan aku mulai memainkan mulutku di payudaranya yang terbungkus kulit putih bersih, putingnya yang putih kemerahan sudah jadi bulan-bulanan lidah dan gigiku, kugigit dan kusedot, sehingga Tante Mona mengelinjang dan makin keras tangannya mencengkram batangku.
Celana panjangku mulai dibuka dengan tangan kirinya, lalu celana dalamku ditarik turun sehingga batangku sudah dipegang tangan halusnya dan mulai mengocok batangku.
“Dik.. batangmu besar sekali yach..? Kalau punya Om paling setengahnya aja, berapa sih besarnya..?”
“Kalau panjangnya 20 cm, kalau diameternya 4 cm.”
“Wah.. gede banget yach.. pasti Tante puas deh.., boleh Tante isap nggak..”
Aku hanya mengangguk, Tante mona langsung jongkok di hadapanku, batangku dipegangnya lalu dimainkan lidahnya pada kepala batangku, membuatku agak gelisah keenakan. Batangku yang besar berusaha dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, tetapi tidak bisa, akhirnya kepala batangku digigit mulut mungilnya.
Kira-kira 15 menit, dia berdiri setelah kelelahan mengulum batangku, lalu dia merebahkan dirinya di sisi tempat tidur. Kali ini aku yang jongkok tepat di sisi kedua kakinya, tangan kananku melepaskan celana dalam pinknya, saat itu juga aroma wangi langsung bertebaran di ruangan yang rupanya aroma itu adalah aroma dari vagina Tante Mona yang bentuknya sangat indah ditutupi bulu-bulu halus di sekitar liang vaginanya.
“Ah.. Tante Mon.. vagina Tante harum sekali, boleh saya jilatin..?”
“Ah.. jangan Dik.. kamu nggak jijik, soalnya si Om nggak pernah menjilatinya.”
“Wah.. payah si Om.. vagina itu paling enak kalau dijilatin, mau yach.. Tante.. enak.. kok..!”
“Iya deh.. kalau kamu nggak jijik.”
Paha putihnya sudah kuusap lembut dengan tangan kiriku, sementara jari tengah tangan kananku mulai menjamah liang vaginanya.
Kulihat Tante Mona melirik ke arahku sambil berkata, “Dik.. jilatnya yang enak yah..!”
Aku hanya mengangguk sambil mulai kutempelkan lidahku pada liang vaginanya yang rupanya selain wangi rasanya pun agak manis, membuatku semakin bernafsu untuk menjilatinya, sementara kulirik Tante Mona sedang merasakan geli-geli keenakan.
“Ah.. ah.. ssh.. argh.. iya.. yach.. Dik.. enak deh rasanya.. wah kalau gini.. besok-besok mainnya sama Dik Setio aja deh.. sama Om.. ntar-ntar deh.. abis.. enak.. banget.. sih.. Dik Setio mau khan..? Ah.. argh..!”
Aku tidak menjawab karena lidahku sudah menemukan biji klitoris yang rasanya lebih manis lagi dari liangnya, sehingga makin cepat kujilati. Rasa manisnya seakan-akan tidak pernah hilang. Tante Mona semakin menggelinjang tidak karuan, sementara tangannya menekan kepalaku yang seakan dia tidak mau kalau kulepaskan lidahku dari biji klitorisnya. Hampir 30 menit klitoris manis itu kujilati ketika tiba-tiba tubuh Tante Mona mengejang-ngejang, dan dari klitoris itu mengalir deras cairan putih bersih, kental dan rasanya lebih manis dari biji klitoris, sehingga dengan cepat kutangkap dengan lidahku, lalu kutelan cairan itu sampai habis. Tante Mona pun mendesah dan langsung tubuhnya lemas.
“Argh.. argh.. agh.. ssh.. sshh.. eegh.. eegh.. Dik.. Setio.. enak.. buangget.. deh.. kamu.. pintar.. membuat.. Tante.. keluar.. yang belum pernah Tante.. keluarin dengan cara begini.. kamu.. hebat deh, agh.. agh..!”
Kuubah posisi Tante Mona, kali ini kakinya terjuntai ke bawah, lalu kuposisikan batangku tepat di liang kemaluannya yang masih agak basah. Dengan jariku, kurenggangkan liang vaginanya, lalu dengan sedikit hentakan, batang kejantananku kudorong masuk, tapi agaknya vagina itu masih agak sempit, mungkin karena batangku yang besar. Kucoba lagi hingga 5 kali tapi belum bisa masuk.
“Tante.. Vagina Tante.. sempit.. yach.. padahal saya sudah tekan berkali-kali..”
“Iya.. dik.. mungkin karena belum pernah melahirkan.. yach.. tapi tekan.. aja terus.. biar batang adik.. masuk.. nggak apa-apa kok.. kalau sampai vagina saya robek..”
Kucoba lagi batangku kutekan ke dalam vagina Tante Mona. Akhirnya setelah 15 kali, Tante Mona menjerit keenakan, masuklah batang kejantananku yang super besar itu merobek liang kewanitaannya.
“Ooowww.. argh.. argh.. gila.. hegk.. hegk.. gede.. banget.. sich.. Dik batangmu rasanya nembus ke perut Tante nich.. tapi.. enak.. banget dech.. trus.. Dik.. trus.. tekannya.. argh.. argh..!” desahnya tidak menentu.
Kulihat Tante Mona berceracau sambil dengan perutnya berusaha menahan batangku yang masuk lubang kenikmatannya. Kutekan keluar masuk batangku pada vaginanya berkali-kali, tangannya memegang perutku berusaha menahan tekanan batangku pada vaginanya. Tanganku mulai meremas-remas payudaranya, kupelintir putingnya dengan jariku.
Hampir satu jam Tante Mona melawan permainanku. Tiba-tiba tubuh Tante mona menggelinjang dengan hebatnya, kakinya disepak-sepak seperti pemain bola dan keluarlah cairan dari vaginanya yang membasahi batangku yang masih terjepit di liang senggamanya. Cairan itu terus mengalir, sehingga meluber keluar membuat pahaku dan pahanya basah, tetapi aku belum merasakan apa-apa. Yang kukagetkan adalah ketika kulirik cairan yang mambasahi paha kami ada tetesan darahnya, aku berpikir bahwa selama ini Tante Mona pasti masih perawan walau sudah berkali-kali main dengan suaminya.
Kulihat tubuh Tante langsung tergolek loyo, “Argh.. arghh.. ssh.. aawww.. oohh.. Dik Setio.. kamu.. e.. emang.. hebat..! Batangmu.. yahud. Aku benar-benar puas.. aku.. sudah.. keluar. Besok.. besok.. aku hanya.. mau.. memekku.. dihujam.. punyamu.. saja. Ah.. arghh.. ah.. ah.. ah.. ah..!”
Badan Tante mona langsung kuputar hingga kali ini dia tengkurap, pantatnya yang dibungkus kulitnya yang putih bersih dengan bentuk yang padat dan sexy, membuat nafsuku bertambah besar. Kuangkat sedikit pantatnya supaya agak menungging dan terlihatlah vagina yang tersembunyi di balik badannya. Aku agak menunduk sedikit, sehingga memudahkan lidahku memainkan liang kemaluannya untuk menjilati sisa-sisa cairan yang baru saja dikeluarkan oleh Tante mona. Cairan itu sangat manis rasanya sehingga langsung kuhisap habis.
Setelah cairan itu habis, kutempelkan lagi batang keperkasaanku pada liang senggamanya. Karena tadi Tante mona sudah orgasme, jadi liang kemaluannya sedikit lebih lebar dan memudahkanku dalam menekan batang kejantananku untuk masuk ke lubangnya Tante Mona.
“Jleb.. bless.. jleb.. bless.. ah.. ah.. sedapnya.. memek.. Tante.. deh.. ah..!”
Aku memasukkan batang kejantananku ke liang Tante Mona dengan berceracau, karena liang senggama Tante mona sangat sedap sekali rasanya. Sementara kulihat Tante Mona tidak bersuara apa-apa, karena dia sudah tertidur lemas. Batang kejantananku keluar masuk liangnya dengan lembut, sehingga aku pun menikmatinya. Hal itu berlangsung satu jam lamanya. Tiba-tiba Tante Mona terbangun dan dia mengatakan bahwa dia mau mencapai orgasme yang kedua kalinya, dan meneteslah cairan kental lagi dari liang kewanitaan Tante mona yang membasahi batang kemaluanku.
“Agh.. agh.. aawww.. arghh.. sshh.. Dik.. Se.. Setio ka.. kamu memang.. he.. hebat..! Tante sampai dua.. kali.. keluar.., tapi.. kamu.. masih tegar.. argh.. sshh..!”
“Ah.. Tante.. saya juga sudah.. mau keluar.. saya.. mau.. keluarin.. di luar.. Tante.. agh..!”
“Jangan.. Dik Setio.. keluarin.. aja.. di dalam.. memek.. Tante.. Tante.. mau.. coba.. air.. mani.. Dik.. Setio. Siapa tahu nanti.. Tante bisa.. hamil.. Keluar di dalam.. yach.. Dik..!”
Tante Mona merengek meminta untuk air maniku harus dikeluarkan di dalam vaginanya, sebenarnya aku agak bingung atas permintaannya, tetapi setelah kupikir, aku dan Tante menginginkan seorang keturunan. Akhirnya kulepas cairan maniku ke liang senggamanya dengan sedikit pengharapan.
“Crot.. crot.. serr.. serr.. agh.. aghr.. agh.. Tante.. Tante mona.. memek Tante memang.. luar biasa.. argh.. argh..!”
“Ahh.. ahh.. Dik.. air mani.. kamu.. hangat.. sekali.. ahh.. Tante.. jadi segar.. rasanya..!”
Cairanku dengan derasnya membasahi lubang kemaluan Tante Mona, sehingga agak meluber dan rupanya Tante Mona menyukai air maniku yang hangat. Akhirnya kami pun ambruk dan langsung tertidur berpelukan.
Aku terbangun dari tidurku ketika batangku sedang dihisap dan dijilat Tante mona untuk mengeringkan sisa air maniku, jam pun sudah menunjukkan waktu 4:30. Aku berpikir bahwa hampir 3 jam aku dan Tante mona berburu nafsu birahi.
“Dik Setio, terima kasih yach..! Tante Mona puass deh sama permainan seks kamu.. Kamu lebih hebat dari suami saya. Kapan kita bisa main lagi..? Tante udah pingin main lagi deh..”
“Iya Tante, besok pun juga boleh. Habis saya juga puas. Tante bisa mewujudkan mimpi saya selama ini, yaitu menikmati tubuh Tante Mona dan Tante luar biasa melayani saya hampir tiga jam. Wahh, Tante memang luar biasaa..”
“Iya.., kamu pun hebat, Dik Setio. Saya suka sekali ketika batangmu menghujam memek saya. Terlebih air mani kamu, hanggatt.. sekali. Besok kita bisa main lagi khan..?”
“Iya.. sayangku. Sekarang kita bersih-bersih, nanti anak dan suamimu datang..!”
Kukecup bibir Tante Mona yang setelah itu kami membersihkan badan kami bersamaan. Di kamar mandi, Tante mona sekali lagi kusodok liang senggamanya sewaktu bershower ria.
Setelah itu, hampir setiap hari aku bertemu Tante Mona untuk memburu nafsu birahi lagi. Hingga sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih lamanya, dan yang agak menyejukkan hati kami berdua bahwa sejak sebulan lalu, Tante mona dinyatakan hamil.
TAMAT
Karena cintaku pada istriku, tidak ada niat untukku berselingkuh, tapi sejak perkenalanku dengan wanita itu, aku tergoda untuk selingkuh. Perkenalanku dengan wanita itu berawal 2 tahun yang lalu, saat kakak istriku mau menikah, kami mengunjungi rumah calon mempelai wanita untuk melamar, aku melihat seorang wanita berumur kira-kira 40 tahunan yang kutahu dia adalah istri dari pamannya calon pengantin wanita, dan kutahu kemudian namanya Tante Mona, karena kami sama-sama panitia perkawinan iparku.
Awalnya kuanggap biasa perkenalan ini, tetapi pada waktu hari perkawinan iparku, aku terpana melihat kecantikan Tante Mona yang memakai baju kebaya bordiran, sehingga lekuk tubuh dan bentuk payudaranya terbayang ditutupi kemben (pakaian kain Jawa) hitam yang membuatku ingin sekali melirik kemana perginya Tante Mona dan membayangkannya di saat Tante Mona telanjang.
Setelah acara pernikahan itu selesai, otomatis kami jarang sekali bertemu, karena Tante Mona harus menemani suaminya yang tugas di Surabaya. Hampir satu tahun lamanya aku ingin melupakan dirinya, tetapi ketika iparku memiliki anak, aku bertemu lagi dengan Tante Mona pada waktu menengok bayi. Saat itu Tante Mona mengenakan baju dan jeans ketat, sehingga lekuk tubuhnya membayangi lagi pikiranku yang terbawa hingga kutidur.
Sebulan kemudian, ketika acara syukuran bayi iparku, tante Mona datang dengan suaminya dan ibunya Tante Mona yang duduk di kursi roda akibat sakit stroke yang katanya sudah 4 tahun diderita. Dan dari iparku, kuketahui Tante Mona sekarang satu bulan di Jakarta untuk menjaga ibunya dan satu minggu menemani suaminya di Surabaya.
Seminggu setelah itu, temanku datang ke rumah untuk menawarkan bisnis “MLM” berbasis food suplement yang dapat membuat beberapa penyakit sembuh. Langsung pikiranku tertuju kepada ibunya Tante Mona. Setelah dapat nomor telpon Tante Mona dari iparku, aku langsung menghubunginya. Setelah obrolan kami, Tante Mona setuju untuk mencobanya terlebih dahulu. Keesokan harinya, ketika aku mengantar obat itu, aku berharap bisa ketemu Tante Mona, tapi karena ibunya sedang anval, otomatis aku hanya bertemu pembantunya.
Satu minggu kemudian, tiba-tiba HP-ku berdering, sebenarnya aku malas menerimanya karena nomor yang tertera tidak kukenal, tapi dengan agak malas kuterima juga telpon itu yang rupanya dari Tante Mona.
“Dik.. Setio, ya..? Disini Tante Mona.”
“Eh.. iya Tante.. apa khabar..?”
“Wah.., Dik.. tante senang loh kayaknya obat yang adik kirim buat ibu bagus sekali, ibu sekarang sudah nggak pakai kursi roda lagi.. kalau begitu tante pesan lagi yach..? Kapan bisa kirim..?”
“Selamet deh Tante.. eng.. kalau begitu besok siang deh.. Tante.. saya kirim ke rumah..!”
“Ya.. sudah.. sampai besok yach..!”
Keesokannya, pukul 11:00 aku ke rumah Tante Mona. Ketika sampai, aku disuruh menunggu oleh pembantunya di ruangan yang sepertinya ruang perpustakaan. Tidak lama kemudian Tante Mona muncul dari pintu yang lain dari tempat kumasuk ruangan itu. Saat itu Tante Mona mengenakan baju model jubah mandi yang panjang dengan tali di pinggangnya, dan mempersilakan aku duduk di sofa yang dia pun ikut duduk, sehingga kami berhadapan. Ketika dia duduk, satu kakinya disilangkan ke kaki yang lain, sehingga betisnya yang bunting padi dan putih bersih terlihat olehku, membuat pikiran kotorku kepada Tante Mona muncul lagi.
Kami mengobrol panjang lebar, Tante Mona menanyakan hal tentang perkawinanku yang sudah 4 tahun tetapi belum dikaruniai keturunan, sedangkan dia menceritakan bahwa sebenarnya Tante Mona menikah disaat suaminya telah mempunyai anak yang sekarang sudah kuliah. Setelah hampir satu jam kami mengobrol, Tante Mona mengatakan padaku bahwa ia senang kalau ibunya sudah agak membaik.
“Oh.. ya berapa nih harga obatnya..?”
“Ah.. sudah Tante, nggak usah, gratis kok, tujuan saya khan yang penting Ibu bisa baik.”
“Ah.. nggak lah Dik, Tante ambil dulu yach uangnya di kamar.”
Tante Mona berdiri dan masuk ke pintu tempat tadi dia datang, tapi pintu itu dibiarkannya terbuka, sehingga kulihat kalau kamar di sebelah ruang kududuk adalah kamar tidur Tante Mona. Dari dalam dia teriak ke arahku menanyakan harganya sambil memanggilku.
“Dik.. Setio, berapa sih harganya..? Kamu sini deh..!”
Dengan agak ragu karena perasaanku tidak enak masuk kamar orang lain, kuhampiri juga Tante Mona.
Begitu sampai di pintu, aku seperti melihat suatu mukjizat, dan tiba-tiba perasaanku terhadap Tante Mona yang pernah ada dalam pikiranku muncul. Tante Mona berdiri di samping tempat tidurnya dengan jubah yang dipakainya telah tergeletak di bawah kakinya. Aku melihat tanpa berkedip tubuh Tante Mona yang sedang berdiri telanjang dada dan pangkal pahanya tertutup celana dalam berwarna pink memperlihatkan sekumpulan bulu hitam di tengah-tengahnya.
“Dik, kalau kamu nggak mau dibayar sama uang, sama nafsu Tante Mona aja yach..? Kamu mau khan..?”
“E.. e.. eng.. bb.. boleh deh Tante..!”
Tiba-tiba kali ini aku bisa melihat Tante Mona yang setengah bugil dan memohon kepadaku untuk melayani nafsunya, kuhampiri dia sambil menutup pintu. Bentuk tubuh Tante Mona sungguh indah di mataku, kulitnya putih bersih, payudara yang berukuran 36B berdiri dengan tegaknya seakan menantangku, lekukan paha dan kaki jenjangnya yang indah dan betisnya yang bunting padi, persis bentuk tubuhnya penyanyi Jennifer Lopez. Aku seakan tidak bisa menelan ludahku karena Tante Mona sekarang tepat berdiri di depanku.
“Dik.. Setio, layani Tante yach..! Soalnya sudah dua bulan Tante tidak dijamah Om..”
“Iya.. Tante, ta.. tapi.. kalau anak-anak Tante datang gimana..?”
“Anak-anak kalau pulang jam 5:00 sore, lagi itu kan anak-anaknya Om.”
“Ok.. deh Tante, Tante tau nggak, kalau hal ini sudah saya impikan sejak pernikahan Desi, soalnya Tante seksi banget sih waktu itu.”
“Sekarang.. sudah nggak seksi dong..?”
“Oh.. masih.. apa lagi sekarang, Tante kelihatan lebih seksi.”
Bibir tipisnya mencium bibirku dengan hangat, sesekali lidahnya dimainkan di mulutku, aku pun membalasnya dengan lidahku. Tangan lembutnya mulai melepaskan dasi dan bajuku hingga kami sudah telanjang bagian atasnya. Dada bidangku mulai diciumi dengan nafsunya, sementara lehernya dan pundaknya kuciumi. Wangi tubuhnya membuat nafsuku juga meningkat, sehingga batangku mulai mengeras mendesak celana dalamku. Tangannya mengelus celanaku di bagian batangku yang sudah mengeras, sedangkan aku mulai memainkan mulutku di payudaranya yang terbungkus kulit putih bersih, putingnya yang putih kemerahan sudah jadi bulan-bulanan lidah dan gigiku, kugigit dan kusedot, sehingga Tante Mona mengelinjang dan makin keras tangannya mencengkram batangku.
Celana panjangku mulai dibuka dengan tangan kirinya, lalu celana dalamku ditarik turun sehingga batangku sudah dipegang tangan halusnya dan mulai mengocok batangku.
“Dik.. batangmu besar sekali yach..? Kalau punya Om paling setengahnya aja, berapa sih besarnya..?”
“Kalau panjangnya 20 cm, kalau diameternya 4 cm.”
“Wah.. gede banget yach.. pasti Tante puas deh.., boleh Tante isap nggak..”
Aku hanya mengangguk, Tante mona langsung jongkok di hadapanku, batangku dipegangnya lalu dimainkan lidahnya pada kepala batangku, membuatku agak gelisah keenakan. Batangku yang besar berusaha dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, tetapi tidak bisa, akhirnya kepala batangku digigit mulut mungilnya.
Kira-kira 15 menit, dia berdiri setelah kelelahan mengulum batangku, lalu dia merebahkan dirinya di sisi tempat tidur. Kali ini aku yang jongkok tepat di sisi kedua kakinya, tangan kananku melepaskan celana dalam pinknya, saat itu juga aroma wangi langsung bertebaran di ruangan yang rupanya aroma itu adalah aroma dari vagina Tante Mona yang bentuknya sangat indah ditutupi bulu-bulu halus di sekitar liang vaginanya.
“Ah.. Tante Mon.. vagina Tante harum sekali, boleh saya jilatin..?”
“Ah.. jangan Dik.. kamu nggak jijik, soalnya si Om nggak pernah menjilatinya.”
“Wah.. payah si Om.. vagina itu paling enak kalau dijilatin, mau yach.. Tante.. enak.. kok..!”
“Iya deh.. kalau kamu nggak jijik.”
Paha putihnya sudah kuusap lembut dengan tangan kiriku, sementara jari tengah tangan kananku mulai menjamah liang vaginanya.
Kulihat Tante Mona melirik ke arahku sambil berkata, “Dik.. jilatnya yang enak yah..!”
Aku hanya mengangguk sambil mulai kutempelkan lidahku pada liang vaginanya yang rupanya selain wangi rasanya pun agak manis, membuatku semakin bernafsu untuk menjilatinya, sementara kulirik Tante Mona sedang merasakan geli-geli keenakan.
“Ah.. ah.. ssh.. argh.. iya.. yach.. Dik.. enak deh rasanya.. wah kalau gini.. besok-besok mainnya sama Dik Setio aja deh.. sama Om.. ntar-ntar deh.. abis.. enak.. banget.. sih.. Dik Setio mau khan..? Ah.. argh..!”
Aku tidak menjawab karena lidahku sudah menemukan biji klitoris yang rasanya lebih manis lagi dari liangnya, sehingga makin cepat kujilati. Rasa manisnya seakan-akan tidak pernah hilang. Tante Mona semakin menggelinjang tidak karuan, sementara tangannya menekan kepalaku yang seakan dia tidak mau kalau kulepaskan lidahku dari biji klitorisnya. Hampir 30 menit klitoris manis itu kujilati ketika tiba-tiba tubuh Tante Mona mengejang-ngejang, dan dari klitoris itu mengalir deras cairan putih bersih, kental dan rasanya lebih manis dari biji klitoris, sehingga dengan cepat kutangkap dengan lidahku, lalu kutelan cairan itu sampai habis. Tante Mona pun mendesah dan langsung tubuhnya lemas.
“Argh.. argh.. agh.. ssh.. sshh.. eegh.. eegh.. Dik.. Setio.. enak.. buangget.. deh.. kamu.. pintar.. membuat.. Tante.. keluar.. yang belum pernah Tante.. keluarin dengan cara begini.. kamu.. hebat deh, agh.. agh..!”
Kuubah posisi Tante Mona, kali ini kakinya terjuntai ke bawah, lalu kuposisikan batangku tepat di liang kemaluannya yang masih agak basah. Dengan jariku, kurenggangkan liang vaginanya, lalu dengan sedikit hentakan, batang kejantananku kudorong masuk, tapi agaknya vagina itu masih agak sempit, mungkin karena batangku yang besar. Kucoba lagi hingga 5 kali tapi belum bisa masuk.
“Tante.. Vagina Tante.. sempit.. yach.. padahal saya sudah tekan berkali-kali..”
“Iya.. dik.. mungkin karena belum pernah melahirkan.. yach.. tapi tekan.. aja terus.. biar batang adik.. masuk.. nggak apa-apa kok.. kalau sampai vagina saya robek..”
Kucoba lagi batangku kutekan ke dalam vagina Tante Mona. Akhirnya setelah 15 kali, Tante Mona menjerit keenakan, masuklah batang kejantananku yang super besar itu merobek liang kewanitaannya.
“Ooowww.. argh.. argh.. gila.. hegk.. hegk.. gede.. banget.. sich.. Dik batangmu rasanya nembus ke perut Tante nich.. tapi.. enak.. banget dech.. trus.. Dik.. trus.. tekannya.. argh.. argh..!” desahnya tidak menentu.
Kulihat Tante Mona berceracau sambil dengan perutnya berusaha menahan batangku yang masuk lubang kenikmatannya. Kutekan keluar masuk batangku pada vaginanya berkali-kali, tangannya memegang perutku berusaha menahan tekanan batangku pada vaginanya. Tanganku mulai meremas-remas payudaranya, kupelintir putingnya dengan jariku.
Hampir satu jam Tante Mona melawan permainanku. Tiba-tiba tubuh Tante mona menggelinjang dengan hebatnya, kakinya disepak-sepak seperti pemain bola dan keluarlah cairan dari vaginanya yang membasahi batangku yang masih terjepit di liang senggamanya. Cairan itu terus mengalir, sehingga meluber keluar membuat pahaku dan pahanya basah, tetapi aku belum merasakan apa-apa. Yang kukagetkan adalah ketika kulirik cairan yang mambasahi paha kami ada tetesan darahnya, aku berpikir bahwa selama ini Tante Mona pasti masih perawan walau sudah berkali-kali main dengan suaminya.
Kulihat tubuh Tante langsung tergolek loyo, “Argh.. arghh.. ssh.. aawww.. oohh.. Dik Setio.. kamu.. e.. emang.. hebat..! Batangmu.. yahud. Aku benar-benar puas.. aku.. sudah.. keluar. Besok.. besok.. aku hanya.. mau.. memekku.. dihujam.. punyamu.. saja. Ah.. arghh.. ah.. ah.. ah.. ah..!”
Badan Tante mona langsung kuputar hingga kali ini dia tengkurap, pantatnya yang dibungkus kulitnya yang putih bersih dengan bentuk yang padat dan sexy, membuat nafsuku bertambah besar. Kuangkat sedikit pantatnya supaya agak menungging dan terlihatlah vagina yang tersembunyi di balik badannya. Aku agak menunduk sedikit, sehingga memudahkan lidahku memainkan liang kemaluannya untuk menjilati sisa-sisa cairan yang baru saja dikeluarkan oleh Tante mona. Cairan itu sangat manis rasanya sehingga langsung kuhisap habis.
Setelah cairan itu habis, kutempelkan lagi batang keperkasaanku pada liang senggamanya. Karena tadi Tante mona sudah orgasme, jadi liang kemaluannya sedikit lebih lebar dan memudahkanku dalam menekan batang kejantananku untuk masuk ke lubangnya Tante Mona.
“Jleb.. bless.. jleb.. bless.. ah.. ah.. sedapnya.. memek.. Tante.. deh.. ah..!”
Aku memasukkan batang kejantananku ke liang Tante Mona dengan berceracau, karena liang senggama Tante mona sangat sedap sekali rasanya. Sementara kulihat Tante Mona tidak bersuara apa-apa, karena dia sudah tertidur lemas. Batang kejantananku keluar masuk liangnya dengan lembut, sehingga aku pun menikmatinya. Hal itu berlangsung satu jam lamanya. Tiba-tiba Tante Mona terbangun dan dia mengatakan bahwa dia mau mencapai orgasme yang kedua kalinya, dan meneteslah cairan kental lagi dari liang kewanitaan Tante mona yang membasahi batang kemaluanku.
“Agh.. agh.. aawww.. arghh.. sshh.. Dik.. Se.. Setio ka.. kamu memang.. he.. hebat..! Tante sampai dua.. kali.. keluar.., tapi.. kamu.. masih tegar.. argh.. sshh..!”
“Ah.. Tante.. saya juga sudah.. mau keluar.. saya.. mau.. keluarin.. di luar.. Tante.. agh..!”
“Jangan.. Dik Setio.. keluarin.. aja.. di dalam.. memek.. Tante.. Tante.. mau.. coba.. air.. mani.. Dik.. Setio. Siapa tahu nanti.. Tante bisa.. hamil.. Keluar di dalam.. yach.. Dik..!”
Tante Mona merengek meminta untuk air maniku harus dikeluarkan di dalam vaginanya, sebenarnya aku agak bingung atas permintaannya, tetapi setelah kupikir, aku dan Tante menginginkan seorang keturunan. Akhirnya kulepas cairan maniku ke liang senggamanya dengan sedikit pengharapan.
“Crot.. crot.. serr.. serr.. agh.. aghr.. agh.. Tante.. Tante mona.. memek Tante memang.. luar biasa.. argh.. argh..!”
“Ahh.. ahh.. Dik.. air mani.. kamu.. hangat.. sekali.. ahh.. Tante.. jadi segar.. rasanya..!”
Cairanku dengan derasnya membasahi lubang kemaluan Tante Mona, sehingga agak meluber dan rupanya Tante Mona menyukai air maniku yang hangat. Akhirnya kami pun ambruk dan langsung tertidur berpelukan.
Aku terbangun dari tidurku ketika batangku sedang dihisap dan dijilat Tante mona untuk mengeringkan sisa air maniku, jam pun sudah menunjukkan waktu 4:30. Aku berpikir bahwa hampir 3 jam aku dan Tante mona berburu nafsu birahi.
“Dik Setio, terima kasih yach..! Tante Mona puass deh sama permainan seks kamu.. Kamu lebih hebat dari suami saya. Kapan kita bisa main lagi..? Tante udah pingin main lagi deh..”
“Iya Tante, besok pun juga boleh. Habis saya juga puas. Tante bisa mewujudkan mimpi saya selama ini, yaitu menikmati tubuh Tante Mona dan Tante luar biasa melayani saya hampir tiga jam. Wahh, Tante memang luar biasaa..”
“Iya.., kamu pun hebat, Dik Setio. Saya suka sekali ketika batangmu menghujam memek saya. Terlebih air mani kamu, hanggatt.. sekali. Besok kita bisa main lagi khan..?”
“Iya.. sayangku. Sekarang kita bersih-bersih, nanti anak dan suamimu datang..!”
Kukecup bibir Tante Mona yang setelah itu kami membersihkan badan kami bersamaan. Di kamar mandi, Tante mona sekali lagi kusodok liang senggamanya sewaktu bershower ria.
Setelah itu, hampir setiap hari aku bertemu Tante Mona untuk memburu nafsu birahi lagi. Hingga sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih lamanya, dan yang agak menyejukkan hati kami berdua bahwa sejak sebulan lalu, Tante mona dinyatakan hamil.
TAMAT
Asmara Ditengah Rimba
Ada suatu liburan sekolah yang panjang, kami dari sebuah SLTA mengadakan pendakian gunung di Jawa Timur. Rombongan terdiri dari 5 laki-laki dan 5 wanita. Diantara rombongan itu satu guru wanita ( guru biologi) dan satu guru pria ( guru olah raga ). Acara liburan ini sebenarnya amat tidak didukung oleh cuaca. Soalnya, acara kami itu diadakan pada awal musim hujan. Tapi kami tidak sedikitpun gentar menghadapi ancaman cuaca itu. Ada yang sedikit mengganjal hati saya, yakni Ibu Guru Anisa ( saya memanggilnya Anisa ) yang terkenal galak dan judes itu dan anti cowok ! denger-denger dia itu lesbi. Ada yang bilang dia patah hati dari pacarnya dan kini sok anti cowok. Bu Anis usianya belum 30 tahun, sarjana, cantik, tinggi, kulit kuning langsat, full press body. Sedangkan teman – teman cewek lainnya terdiri dari cewek-cewek bawel tapi cantik-cantik dan periang, cowoknya, terus terang saja, semuanya bandit asmara ! termasuk pak Martin guru olah raga kami itu.
Perjalanan menuju puncak gunung, mulai dari kumpul di sekolah hingga tiba di kaki gunung di pos penjagaan I kami lalui dengan riang gembira dan mulus-mulus saja. Seperti biasanya rombongan berangkat menuju ke sasaran melalui jalan setapak. Sampai tengah hari, kami mulai memasuki kawasan yang berhutan lebat dengan satwa liarnya, yang sebagian besar terdiri dari monyet-monyet liar dan galak. Menjelang sore, setelah rombongan istirahat sebentar untuk makan dan minum, kami berangkat lagi. Kata pak Martin sebentar lagi sampai ke tujuan. Saking lelahnya, rombongan mulai berkelompok dua-dua. Kebetulan aku berjalan paling belakang menemani si bawel Anisa dan disuruh membawa bawaannya lagi, berat juga sih, sebel pula! Sebentar-sebentar minta istirahat, bahkan sampai 10 menit, lima belas menit, dan dia benar-benar kecapean dan betisnya yang putih itu mulai membengkak.
Kami berangkat lagi, tapi celaka, rombongan di depan tidak nampak lagi, nah lo ?! Kami kebingungan sekali, bahkan berteriak memanggil-manggil mereka yang berjalan duluan. Tak ada sahutan sedikitpun, yang terdengar hanya raungan monyet-monyet liar, suara burung, bahkan sesekali auman harimau. Anisa sangat ketakutan dengan auman harimau itu. Akhirnya kami terus berjalan menuruti naluri saja. Rasa-rasanya jalan yang kami lalui itu benar, soalnya hanya ada satu jalan setapak yang biasa dilalui orang.
Sial bagi kami, kabut dengan tiba-tiba turun, udara dingin dan lembab, hari mulai gelap, hujan turun rintik-rintik. Anisa minta istirahat dan berteduh di sebuah pohon sangat besar. Hingga hari gelap kami tersasar dan belum bertemu dengan rombongan di depan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di sebuah tepian batu cadas yang sedikit seperti goa.
Hujan semakin lebat dan kabut tebal sekali, udara menyengat ketulang sumsum dinginnya. Bajuku basah kuyup, demikian juga baju Anisa. Dia menggigil kedinginan. Sekejap saja hari menjadi gelap gulita, dengan tiupan angin kencang yang dingin. Kami tersesat di tengah hutan lebat.
Tanpa sadar Anisa saking kedinginan dia memeluk aku. “Maaf” katanya. Aku diam saja, bahkan dia minta aku memeluknya erat-erat agar hangat tubuhnya. Pelukan kami semakin erat, seiring dengan kencangnya deras hujan yang dingin. Jika aku tak salah, hampir tiga jam lamanya hujan turun, dan hampir tiga jam kami berpelukan menahan dingin.
Setelah hujan reda, kami membuka ransel masing-masing. Tujuan utamanya adalah mencari pakaian tebal, sebab jaket kami sudah basah kuyup. Seluruh pakaian bawaan Anisa basah kuyup, aku hanya punya satu jaket parasut di ransel. Anisa minta aku meminjamkan jakaetku. Aku setuju. Tapi apa yag terjadi ? wow…Anisa dalam suasana dingin itu membuka seluruh pakaiannya guna diganti dengan yang agak kering. Mulai dari jaket, T. Shirt nya, BH nya, wah aku melihat seluruh tubuh Anisa. Dia cuek saja, payudaranya nampak samar-samar dalam gelap itu. Tiba-tiba dia memelukku lagi.
“Dingin banget” katanya. “Terang dingin , habis kamu bugil begini” jawabku.
“Habis bagaimana? basah semua, tolong pakein aku jeketmu dong ?” pinta Anisa.
Aku memakaikan jaket parasut itu ketubuh Anisa. Tanganku bersentuhan dengan payudaranya, dan aku berguman
” Maaf Nisa ?”
“Enggak apa-apa ?!”: sahutnya.
Hatiku jadi enggak karuan, udara yang aku rasakan dingin mendadak jadi hangat, entah apa penyebabnya. Anisa merangkulku, “Dingin” katanya, aku peluk saja dia erat-erat. ” Hangat bu ?” tanyaku ” iya, hangat sekali, yang kenceng dong meluknya ” pintanya. Otomatis aku peluk erat-erat dan semakin erat.
Aneh bin ajaib, Anisa tampak sudah berkurang merasakan kedinginan malam itu, seperti aku juga. Dia meraba bibirku, aku reflex mencium bibir Anisa. Lalu aku menghindar. “Kenapa?” tanya Anisa
” Maaf Nisa ? ” Jawabku.
” Tidak apa-apa Rangga, kita dalam suasana seperti ini saling membutuhkan, dengan begini kita saling bernafsu, dengan nafsu itu membangkitkan panas dalam darah kita, dan bisa mengurangi rasa dingin yang menyengat.
Kembali kami berpelukan, berciuman, hingga tanpa sadar aku memegang payudaranya Anisa yang montok itu, dia diam saja, bahkan seperti meningkat nafsu birahinya. Tangannya secara reflek merogoh celanaku kedalam hingga masuk dan memegang penisku. Kami masih berciuman, tangan Anisa melakukan gerakan seperti mengocok-ngocok ‘Mr. Penny’ku. Tanganku mulai merogoh ‘Ms. Veggy’nya Anisa, astaga ! dia rupanya sudah melepas celana dalamnya sedari tadi. Karena remang-remang aku sampai tak melihatnya. ‘Ms. Veggy’nya hangat sekali bagian dalamnya, bulunya lebat.
Anisa sepontan melepas seluruh pakaiannya, dan meminta aku melepas pula . Aku tanpa basa basi lagi langsung bugil. Kami bergumul diatas semak-semak, kami melakukan hubungan badan ditengah gelap gulita itu. Kami saling ganti posisi, Anisa meminta aku dibawah, dia diatas. Astaga, goyangnya!! Pengalaman banget dia ? kan belum kawin ?
” Kamu kuat ya?” bisiknya mesra.
” Lumayan sayang ?!” sahutku setengah berbisik.
” Biasa main dimana ?” tanyanya
“Ada apa sayang?” tanyaku kembali.
” Akh enggak” jawabnya sambil melepas ‘Ms. Veggy’nya dari ‘Mr. Penny’ku, dan dengan cekatan dia mengisap dan menjilati ‘Mr. Penny’ku tanpa rasa jijik sedikitpun. Anisa meminta agar aku mengisap payudaranya, lalu menekan kepalaku dan menuntunnya ke arah ‘Ms. Veggy’nya. Aku jilati ‘Ms. Veggy’ itu tanpa rasa jijik pula. Tiba-tiba saja dia minta senggama lagi, lagi dan lagi, hingga aku ejakulasi.
Aku sempat bertanya, “Bagaimana jika kamu hamil ?”
” Don’t worry !” katanya. Dan setelah dia memebersihkan ‘Ms. Veggy’nya dari spermaku, dia merangkul aku lagi. Malam semakin larut, hujan sudah reda, bintang-bintang di langit mulai bersinar. Pada jam 12 tengah malam, bulan nampak bersinar terang benderang. Paras Anisa tampak anggun dan cantik sekali. Kami ngobrol ngalor-ngidul, soal kondom, soal sekolah, soal nasib guru, dsb. Setelah ngobrol sekian jam, tepat pukul 3 malam, Anisa minta bersetubuh denganku lagi, katanya nikmat sekali ‘Mr. Penny’ku. Aku semakin bingung, dari mana dia tahu macam-macam rasa ‘Mr. Penny’, dia kan belum nikah ? tidak punya pacar ? kata orang dia lesbi.
Aku menuruti permintaan Anisa. Dia menggagahi aku, lalu meminta aku melakukan pemanasan sex (foreplay). Mainan Anisa bukan main hebatnya, segala gaya dia lakukan. Kami tak peduli lagi dengan dinginnya malam, gatalnya semak-semak. Kami bergumul dan bergumul lagi. Anisa meraih tanganku dan menempelkan ke payudaranya. Dia minta agar aku meremas-remas payudaranya, lalu memainkan lubang ‘Ms. Veggy’nya dengan jariku, menjilati sekujur bagian dagu. Tak kalah pula dia mengocok-ngocok ‘Mr. Penny’ku yang sudah sangat tegang itu, lalu dijilatinya, dan dimasukkannya kelubang vaginanya, dan kami saling goyang menggoyang dan hingga kami saling mencapai klimaks kenikmatan, dan terkulai lemas.
Anisa minta agar aku tak usah lagi menyusul kelompok yang terpisah. Esoknya kami memutuskan untuk berkemah sendiri dan mencari lokasi yang tak akan mungkin dijangkau mereka. Kami mendapatkan tempat ditepi jurang terjal dan ada goa kecilnya, serta ada sungai yang bening, tapi rimbun dan nyaman. Romantis sekali tempat kami itu. Aku dan Anisa layaknya seperti Tarzan dan pacarnya di tengah hutan. Sebab seluruh baju yang kami bawa basah kuyup oleh hujan. Anisa hanya memakai selembar selayer yang dililitkan diseputar perut untuk menutupi kemaluannya. Aku telanjang bulat, karena baju kami sedang kami jemur ditepi sungai. Anisa dengan busana yang sangat minim itu membuat aku terangsang terus, demikian pula dia. Dalam hari-hari yang kami lalui kami hanya makan mi instant dan makanan kaleng.
Tepat sudah tiga hari kami ada ditempat terpencil itu. Hari terakhir, sepanjang hari kami hanya ngobrol dan bermesraan saja. Kami memutuskan esok pagi kami harus pulang. Di hari terakhir itu, kesmpatan kami pakai semaksimal mungkin. Di hari yang cerah itu, Anisa minta aku mandi bersama di sungai yang rimbun tertutup pohon-pohon besar. Kami mandi berendam, berpelukan, lalu bersenggama lagi. Anisa menuntun ‘Mr. Penny’ku masuk ke ‘Ms. Veggy’nya. Dan di menggoyangkan pinggulnya agar aku merasa nikmat. Aku demikian pula, semakin menekan ‘Mr. Penny’ku masuk kedalam ‘Ms. Veggy’nya.
Di atas batu yang ceper nan besar, Anisa membaringkan diri dengan posisi menantang, dia menguakkan selangkangngannya, ‘Ms. Veggy’nya terbuka lebar, disuruhnya aku menjilati bibir ‘Ms. Veggy’nya hingga klitoris bagian dalam yang ngjendol itu. Dia merasakan nikmat yang luar biasa, lalu disuruhnya aku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang ‘Ms. Veggy’nya, dan menekannya dalam-dalam. Mata Anisa merem melek kenikmatan. Tak lama kemudian dia minta aku yang berbaring, ‘Mr. Penny’ku di elus-elus, diciumi, dijilati, lalu diisapnya dengan memainkan lidahnya, Anisa minta agar aku jangan ejakulasi dulu,
“Tahan ya ?” pintanya. ” Jangan dikeluarin lho ?!” pintanya lagi.
Lalu dia menghisap ‘Mr. Penny’ku dalam-dalam. Setelah dia enggak tahan, lalu dia naik diatasku dan memasukkan ‘Mr. Penny’ku di ‘Ms. Veggy’nya, wah, goyangnya hebat sekali, akhirnya dia yang kalah duluan. Anisa mencubiti aku, menjambak rambutku, rupanya dia ” keluar”, dan menjerit kenikmatan, lalu aku menyusul yang “keluar” dan oh,,,,oh…oh….muncratlah air maniku dilubang ‘Ms. Veggy’ Anisa.
“Jahat kamu ?!” kata Anisa seraya menatapku manja dan memukuli aku pelan dan mesra. Aku tersenyum saja. ” Jahat kamu Rangga, aku kalah terus sama kamu ” Ujarnya lagi. Kami sama-sama terkulai lemas diatas batu itu.
Esoknya kami sudah berangkat dari tempat yang tak akan terlupakan itu. Kami memadu janji, bahwa suatu saat nanti kami akan kembali ke tempat itu. Kami pulang dengan mengambil jalan ke desa terdekat dan pergi ke kota terdekat agar tidak bertemu dengan rombongan yang terpisah itu. Dari kota kecil itu kami pulang ke kota kami dengan menyewa Taxi, sepanjang jalan kami berpelukan terus di dalam Taxi. Tak sedikitpun waktu yang kami sia-siakan. Anisa menciumi pipiku, bibirku, lalu membisikkan kata
” Aku suka kamu ” Aku juga membalasnya dengan kalimat mesra yang tak kalah indahnya. Dalam dua jam perjalanan itu, tangan dan jari-jari Anisa tak henti-hentinya merogoh celana dalamku, dan memegangi ‘Mr. Penny’ku. Dia tahu aku ejakulasi di dalam celana, bahkan Anisa tetap mengocok-ngocoknya. Aku terus memeluk dia, pak Supir tak ku ijinkan menoleh kami kebelakang, dia setuju saja. Sudah tiga kali aku ” keluar” karena tangan Anisa selalu memainkan ‘Mr. Penny’ku sepanjang perjalanan di Taxi itu.
” Aku lemas sayang ?!” bisikku mesra
” Biarin !” Bisiknya mesra sekali. ” Aku suka kok !” Bisiknya lagi.
Tidak mau ketinggalan aku merogoh celana olah raga yang dipakai Anisa. Astaga, dia tidak pakai celana dalam. Ketika jari-jari tanganku menyolok ‘Ms. Veggy’nya, dia tersenyum, bulunya ku tarik-tarik, dia meringis, dan apa yang terjadi ? astaga lagi, Anisa sudah ‘keluar’ banyak, ‘Ms. Veggy’nya basah oleh semacam lendir, rupanya nafsunya tinggi sekali, becek banget. Tangan kami sama-sama basah oleh cairan kemaluan. Ketika sampai di rumah Anisa, aku disuruhnya langsung pulang, enggak enak sama tetangga katanya. Dia menyodorkan uang dua lembar lima puluh ribuan, aku menolaknya, biar aku saja yang membayar Taxi itu. Lalu aku pulang.
Hari-hari berikutnya di sekolah, hubunganku dengan Anisa guru biologiku, nampak wajar-wajar saja dari luar. Tapi ada satu temanku yang curiga, demikian para guru. Hari-hari selanjutnya selalu bertemu ditempat-tempat khusus seperti hotel diluar kota, di pantai, bahkan pernah dalam suatu liburan kami ke Bali selama 12 hari.
Ketika aku sudah menyelesaikan studiku di SLTA, Anisa minta agar aku tak melupakan kenangan yang pernah kami ukir. Aku diajaknya ke sebuah Hotel disebuah kota, yah seperti perpisahan. Karena aku harus melanjutkan kuliah di Australia, menyusul kakakku. Alangkah sedihnya Anisa malam itu, dia nampak cantik, lembut dan mesra. Tak rela rasanya aku kehilangan Anisa. Kujelaskan semuanya, walau kita beda usia yang cukup mencolok, tapi aku mau menikah dengannya. Anisa memberikan cincin bermata berlian yang dipakainya kepada aku. Aku memberikan kalung emas bermata zamrud kepada Anisa. Cincin Anisa hanya mampu melingkar di kelingkingku, kalungku langsung dipakainya, setelah dikecupinya. Anisa berencana berhenti menjadi guru, “sakit rasanya” ujarnya kalau terus menjadi guru, karena kehilangan aku. Anisa akan melanjutkan S2 nya di USA, karena keluarganya ada disana. Setelah itu kami berpisah hingga sekian tahun, tanpa kontak lagi.
Pada suatu saat, ada surat undangan pernikahan datang ke Apartemenku, datangnya dari Dra. Anisa Maharani, MSC. Rupanya benar dia menyelesaikan S2 nya.Aku terbang ke Jakarta, karena resepsi itu diadakan di Jakarta disebuah hotel bintang lima. Aku datang bersama kakakku Rina dan Papa. Di pesta itu, ketika aku datang, Anisa tak tahan menahan emosinya, dia menghampiriku ditengah kerumunan orang banya itu dan memelukku erat-erat, lalu menangis sejadi-jadinya.
“Aku rindu kamu Rangga kekasihku, aku sayang kamu, sekian tahun aku kehilangan kamu, andai saja laki-laki disampingku dipelaminan itu adalah kamu, alangkah bahagianya aku ” Kata Anisa lirih dan pelan sambil memelukku.
Kamu jadi perhatian para hadirin, Rina dan Papa saling tatap kebingungan. Ku usap airmata tulus Anisa. Kujelaskan aku sudah selesai S1 dan akan melanjutkan S2 di USA, dan aku berjanji akan membangun laboratorium yang kuberi nama Laboratorium “Anisa”. Dia setuju dan masih menenteskan air mata.
Setelah aku diperkenalkan dengan suaminya, aku minta pamit untuk pulang, akupun tak tahan dengan suasana yang mengharukan ini. Setelah lima tahun tak ada khabar lagi dari dia, aku sudah menikah dan punya anak wanita yang kuberi nama Anisa Maharani, persis nama Anisa. Ku kabari Anisa dan dia datang kerumahku di Bandung, dia juga membawa putranya yang diberi nama Rangga, cuma Rangga berbeda usia tiga tahun dengan Anisa putriku. Aku masih merasakan getaran-getaran aneh di hatiku, tatapan Anisa masih menantang dan panas, senyumnya masih menggoda. Kami sepakat untuk menjodohkan anak kami kelak, jika Tuhan mengijinkannya.
END
Perjalanan menuju puncak gunung, mulai dari kumpul di sekolah hingga tiba di kaki gunung di pos penjagaan I kami lalui dengan riang gembira dan mulus-mulus saja. Seperti biasanya rombongan berangkat menuju ke sasaran melalui jalan setapak. Sampai tengah hari, kami mulai memasuki kawasan yang berhutan lebat dengan satwa liarnya, yang sebagian besar terdiri dari monyet-monyet liar dan galak. Menjelang sore, setelah rombongan istirahat sebentar untuk makan dan minum, kami berangkat lagi. Kata pak Martin sebentar lagi sampai ke tujuan. Saking lelahnya, rombongan mulai berkelompok dua-dua. Kebetulan aku berjalan paling belakang menemani si bawel Anisa dan disuruh membawa bawaannya lagi, berat juga sih, sebel pula! Sebentar-sebentar minta istirahat, bahkan sampai 10 menit, lima belas menit, dan dia benar-benar kecapean dan betisnya yang putih itu mulai membengkak.
Kami berangkat lagi, tapi celaka, rombongan di depan tidak nampak lagi, nah lo ?! Kami kebingungan sekali, bahkan berteriak memanggil-manggil mereka yang berjalan duluan. Tak ada sahutan sedikitpun, yang terdengar hanya raungan monyet-monyet liar, suara burung, bahkan sesekali auman harimau. Anisa sangat ketakutan dengan auman harimau itu. Akhirnya kami terus berjalan menuruti naluri saja. Rasa-rasanya jalan yang kami lalui itu benar, soalnya hanya ada satu jalan setapak yang biasa dilalui orang.
Sial bagi kami, kabut dengan tiba-tiba turun, udara dingin dan lembab, hari mulai gelap, hujan turun rintik-rintik. Anisa minta istirahat dan berteduh di sebuah pohon sangat besar. Hingga hari gelap kami tersasar dan belum bertemu dengan rombongan di depan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di sebuah tepian batu cadas yang sedikit seperti goa.
Hujan semakin lebat dan kabut tebal sekali, udara menyengat ketulang sumsum dinginnya. Bajuku basah kuyup, demikian juga baju Anisa. Dia menggigil kedinginan. Sekejap saja hari menjadi gelap gulita, dengan tiupan angin kencang yang dingin. Kami tersesat di tengah hutan lebat.
Tanpa sadar Anisa saking kedinginan dia memeluk aku. “Maaf” katanya. Aku diam saja, bahkan dia minta aku memeluknya erat-erat agar hangat tubuhnya. Pelukan kami semakin erat, seiring dengan kencangnya deras hujan yang dingin. Jika aku tak salah, hampir tiga jam lamanya hujan turun, dan hampir tiga jam kami berpelukan menahan dingin.
Setelah hujan reda, kami membuka ransel masing-masing. Tujuan utamanya adalah mencari pakaian tebal, sebab jaket kami sudah basah kuyup. Seluruh pakaian bawaan Anisa basah kuyup, aku hanya punya satu jaket parasut di ransel. Anisa minta aku meminjamkan jakaetku. Aku setuju. Tapi apa yag terjadi ? wow…Anisa dalam suasana dingin itu membuka seluruh pakaiannya guna diganti dengan yang agak kering. Mulai dari jaket, T. Shirt nya, BH nya, wah aku melihat seluruh tubuh Anisa. Dia cuek saja, payudaranya nampak samar-samar dalam gelap itu. Tiba-tiba dia memelukku lagi.
“Dingin banget” katanya. “Terang dingin , habis kamu bugil begini” jawabku.
“Habis bagaimana? basah semua, tolong pakein aku jeketmu dong ?” pinta Anisa.
Aku memakaikan jaket parasut itu ketubuh Anisa. Tanganku bersentuhan dengan payudaranya, dan aku berguman
” Maaf Nisa ?”
“Enggak apa-apa ?!”: sahutnya.
Hatiku jadi enggak karuan, udara yang aku rasakan dingin mendadak jadi hangat, entah apa penyebabnya. Anisa merangkulku, “Dingin” katanya, aku peluk saja dia erat-erat. ” Hangat bu ?” tanyaku ” iya, hangat sekali, yang kenceng dong meluknya ” pintanya. Otomatis aku peluk erat-erat dan semakin erat.
Aneh bin ajaib, Anisa tampak sudah berkurang merasakan kedinginan malam itu, seperti aku juga. Dia meraba bibirku, aku reflex mencium bibir Anisa. Lalu aku menghindar. “Kenapa?” tanya Anisa
” Maaf Nisa ? ” Jawabku.
” Tidak apa-apa Rangga, kita dalam suasana seperti ini saling membutuhkan, dengan begini kita saling bernafsu, dengan nafsu itu membangkitkan panas dalam darah kita, dan bisa mengurangi rasa dingin yang menyengat.
Kembali kami berpelukan, berciuman, hingga tanpa sadar aku memegang payudaranya Anisa yang montok itu, dia diam saja, bahkan seperti meningkat nafsu birahinya. Tangannya secara reflek merogoh celanaku kedalam hingga masuk dan memegang penisku. Kami masih berciuman, tangan Anisa melakukan gerakan seperti mengocok-ngocok ‘Mr. Penny’ku. Tanganku mulai merogoh ‘Ms. Veggy’nya Anisa, astaga ! dia rupanya sudah melepas celana dalamnya sedari tadi. Karena remang-remang aku sampai tak melihatnya. ‘Ms. Veggy’nya hangat sekali bagian dalamnya, bulunya lebat.
Anisa sepontan melepas seluruh pakaiannya, dan meminta aku melepas pula . Aku tanpa basa basi lagi langsung bugil. Kami bergumul diatas semak-semak, kami melakukan hubungan badan ditengah gelap gulita itu. Kami saling ganti posisi, Anisa meminta aku dibawah, dia diatas. Astaga, goyangnya!! Pengalaman banget dia ? kan belum kawin ?
” Kamu kuat ya?” bisiknya mesra.
” Lumayan sayang ?!” sahutku setengah berbisik.
” Biasa main dimana ?” tanyanya
“Ada apa sayang?” tanyaku kembali.
” Akh enggak” jawabnya sambil melepas ‘Ms. Veggy’nya dari ‘Mr. Penny’ku, dan dengan cekatan dia mengisap dan menjilati ‘Mr. Penny’ku tanpa rasa jijik sedikitpun. Anisa meminta agar aku mengisap payudaranya, lalu menekan kepalaku dan menuntunnya ke arah ‘Ms. Veggy’nya. Aku jilati ‘Ms. Veggy’ itu tanpa rasa jijik pula. Tiba-tiba saja dia minta senggama lagi, lagi dan lagi, hingga aku ejakulasi.
Aku sempat bertanya, “Bagaimana jika kamu hamil ?”
” Don’t worry !” katanya. Dan setelah dia memebersihkan ‘Ms. Veggy’nya dari spermaku, dia merangkul aku lagi. Malam semakin larut, hujan sudah reda, bintang-bintang di langit mulai bersinar. Pada jam 12 tengah malam, bulan nampak bersinar terang benderang. Paras Anisa tampak anggun dan cantik sekali. Kami ngobrol ngalor-ngidul, soal kondom, soal sekolah, soal nasib guru, dsb. Setelah ngobrol sekian jam, tepat pukul 3 malam, Anisa minta bersetubuh denganku lagi, katanya nikmat sekali ‘Mr. Penny’ku. Aku semakin bingung, dari mana dia tahu macam-macam rasa ‘Mr. Penny’, dia kan belum nikah ? tidak punya pacar ? kata orang dia lesbi.
Aku menuruti permintaan Anisa. Dia menggagahi aku, lalu meminta aku melakukan pemanasan sex (foreplay). Mainan Anisa bukan main hebatnya, segala gaya dia lakukan. Kami tak peduli lagi dengan dinginnya malam, gatalnya semak-semak. Kami bergumul dan bergumul lagi. Anisa meraih tanganku dan menempelkan ke payudaranya. Dia minta agar aku meremas-remas payudaranya, lalu memainkan lubang ‘Ms. Veggy’nya dengan jariku, menjilati sekujur bagian dagu. Tak kalah pula dia mengocok-ngocok ‘Mr. Penny’ku yang sudah sangat tegang itu, lalu dijilatinya, dan dimasukkannya kelubang vaginanya, dan kami saling goyang menggoyang dan hingga kami saling mencapai klimaks kenikmatan, dan terkulai lemas.
Anisa minta agar aku tak usah lagi menyusul kelompok yang terpisah. Esoknya kami memutuskan untuk berkemah sendiri dan mencari lokasi yang tak akan mungkin dijangkau mereka. Kami mendapatkan tempat ditepi jurang terjal dan ada goa kecilnya, serta ada sungai yang bening, tapi rimbun dan nyaman. Romantis sekali tempat kami itu. Aku dan Anisa layaknya seperti Tarzan dan pacarnya di tengah hutan. Sebab seluruh baju yang kami bawa basah kuyup oleh hujan. Anisa hanya memakai selembar selayer yang dililitkan diseputar perut untuk menutupi kemaluannya. Aku telanjang bulat, karena baju kami sedang kami jemur ditepi sungai. Anisa dengan busana yang sangat minim itu membuat aku terangsang terus, demikian pula dia. Dalam hari-hari yang kami lalui kami hanya makan mi instant dan makanan kaleng.
Tepat sudah tiga hari kami ada ditempat terpencil itu. Hari terakhir, sepanjang hari kami hanya ngobrol dan bermesraan saja. Kami memutuskan esok pagi kami harus pulang. Di hari terakhir itu, kesmpatan kami pakai semaksimal mungkin. Di hari yang cerah itu, Anisa minta aku mandi bersama di sungai yang rimbun tertutup pohon-pohon besar. Kami mandi berendam, berpelukan, lalu bersenggama lagi. Anisa menuntun ‘Mr. Penny’ku masuk ke ‘Ms. Veggy’nya. Dan di menggoyangkan pinggulnya agar aku merasa nikmat. Aku demikian pula, semakin menekan ‘Mr. Penny’ku masuk kedalam ‘Ms. Veggy’nya.
Di atas batu yang ceper nan besar, Anisa membaringkan diri dengan posisi menantang, dia menguakkan selangkangngannya, ‘Ms. Veggy’nya terbuka lebar, disuruhnya aku menjilati bibir ‘Ms. Veggy’nya hingga klitoris bagian dalam yang ngjendol itu. Dia merasakan nikmat yang luar biasa, lalu disuruhnya aku memasukkan jari tengahku ke dalam lubang ‘Ms. Veggy’nya, dan menekannya dalam-dalam. Mata Anisa merem melek kenikmatan. Tak lama kemudian dia minta aku yang berbaring, ‘Mr. Penny’ku di elus-elus, diciumi, dijilati, lalu diisapnya dengan memainkan lidahnya, Anisa minta agar aku jangan ejakulasi dulu,
“Tahan ya ?” pintanya. ” Jangan dikeluarin lho ?!” pintanya lagi.
Lalu dia menghisap ‘Mr. Penny’ku dalam-dalam. Setelah dia enggak tahan, lalu dia naik diatasku dan memasukkan ‘Mr. Penny’ku di ‘Ms. Veggy’nya, wah, goyangnya hebat sekali, akhirnya dia yang kalah duluan. Anisa mencubiti aku, menjambak rambutku, rupanya dia ” keluar”, dan menjerit kenikmatan, lalu aku menyusul yang “keluar” dan oh,,,,oh…oh….muncratlah air maniku dilubang ‘Ms. Veggy’ Anisa.
“Jahat kamu ?!” kata Anisa seraya menatapku manja dan memukuli aku pelan dan mesra. Aku tersenyum saja. ” Jahat kamu Rangga, aku kalah terus sama kamu ” Ujarnya lagi. Kami sama-sama terkulai lemas diatas batu itu.
Esoknya kami sudah berangkat dari tempat yang tak akan terlupakan itu. Kami memadu janji, bahwa suatu saat nanti kami akan kembali ke tempat itu. Kami pulang dengan mengambil jalan ke desa terdekat dan pergi ke kota terdekat agar tidak bertemu dengan rombongan yang terpisah itu. Dari kota kecil itu kami pulang ke kota kami dengan menyewa Taxi, sepanjang jalan kami berpelukan terus di dalam Taxi. Tak sedikitpun waktu yang kami sia-siakan. Anisa menciumi pipiku, bibirku, lalu membisikkan kata
” Aku suka kamu ” Aku juga membalasnya dengan kalimat mesra yang tak kalah indahnya. Dalam dua jam perjalanan itu, tangan dan jari-jari Anisa tak henti-hentinya merogoh celana dalamku, dan memegangi ‘Mr. Penny’ku. Dia tahu aku ejakulasi di dalam celana, bahkan Anisa tetap mengocok-ngocoknya. Aku terus memeluk dia, pak Supir tak ku ijinkan menoleh kami kebelakang, dia setuju saja. Sudah tiga kali aku ” keluar” karena tangan Anisa selalu memainkan ‘Mr. Penny’ku sepanjang perjalanan di Taxi itu.
” Aku lemas sayang ?!” bisikku mesra
” Biarin !” Bisiknya mesra sekali. ” Aku suka kok !” Bisiknya lagi.
Tidak mau ketinggalan aku merogoh celana olah raga yang dipakai Anisa. Astaga, dia tidak pakai celana dalam. Ketika jari-jari tanganku menyolok ‘Ms. Veggy’nya, dia tersenyum, bulunya ku tarik-tarik, dia meringis, dan apa yang terjadi ? astaga lagi, Anisa sudah ‘keluar’ banyak, ‘Ms. Veggy’nya basah oleh semacam lendir, rupanya nafsunya tinggi sekali, becek banget. Tangan kami sama-sama basah oleh cairan kemaluan. Ketika sampai di rumah Anisa, aku disuruhnya langsung pulang, enggak enak sama tetangga katanya. Dia menyodorkan uang dua lembar lima puluh ribuan, aku menolaknya, biar aku saja yang membayar Taxi itu. Lalu aku pulang.
Hari-hari berikutnya di sekolah, hubunganku dengan Anisa guru biologiku, nampak wajar-wajar saja dari luar. Tapi ada satu temanku yang curiga, demikian para guru. Hari-hari selanjutnya selalu bertemu ditempat-tempat khusus seperti hotel diluar kota, di pantai, bahkan pernah dalam suatu liburan kami ke Bali selama 12 hari.
Ketika aku sudah menyelesaikan studiku di SLTA, Anisa minta agar aku tak melupakan kenangan yang pernah kami ukir. Aku diajaknya ke sebuah Hotel disebuah kota, yah seperti perpisahan. Karena aku harus melanjutkan kuliah di Australia, menyusul kakakku. Alangkah sedihnya Anisa malam itu, dia nampak cantik, lembut dan mesra. Tak rela rasanya aku kehilangan Anisa. Kujelaskan semuanya, walau kita beda usia yang cukup mencolok, tapi aku mau menikah dengannya. Anisa memberikan cincin bermata berlian yang dipakainya kepada aku. Aku memberikan kalung emas bermata zamrud kepada Anisa. Cincin Anisa hanya mampu melingkar di kelingkingku, kalungku langsung dipakainya, setelah dikecupinya. Anisa berencana berhenti menjadi guru, “sakit rasanya” ujarnya kalau terus menjadi guru, karena kehilangan aku. Anisa akan melanjutkan S2 nya di USA, karena keluarganya ada disana. Setelah itu kami berpisah hingga sekian tahun, tanpa kontak lagi.
Pada suatu saat, ada surat undangan pernikahan datang ke Apartemenku, datangnya dari Dra. Anisa Maharani, MSC. Rupanya benar dia menyelesaikan S2 nya.Aku terbang ke Jakarta, karena resepsi itu diadakan di Jakarta disebuah hotel bintang lima. Aku datang bersama kakakku Rina dan Papa. Di pesta itu, ketika aku datang, Anisa tak tahan menahan emosinya, dia menghampiriku ditengah kerumunan orang banya itu dan memelukku erat-erat, lalu menangis sejadi-jadinya.
“Aku rindu kamu Rangga kekasihku, aku sayang kamu, sekian tahun aku kehilangan kamu, andai saja laki-laki disampingku dipelaminan itu adalah kamu, alangkah bahagianya aku ” Kata Anisa lirih dan pelan sambil memelukku.
Kamu jadi perhatian para hadirin, Rina dan Papa saling tatap kebingungan. Ku usap airmata tulus Anisa. Kujelaskan aku sudah selesai S1 dan akan melanjutkan S2 di USA, dan aku berjanji akan membangun laboratorium yang kuberi nama Laboratorium “Anisa”. Dia setuju dan masih menenteskan air mata.
Setelah aku diperkenalkan dengan suaminya, aku minta pamit untuk pulang, akupun tak tahan dengan suasana yang mengharukan ini. Setelah lima tahun tak ada khabar lagi dari dia, aku sudah menikah dan punya anak wanita yang kuberi nama Anisa Maharani, persis nama Anisa. Ku kabari Anisa dan dia datang kerumahku di Bandung, dia juga membawa putranya yang diberi nama Rangga, cuma Rangga berbeda usia tiga tahun dengan Anisa putriku. Aku masih merasakan getaran-getaran aneh di hatiku, tatapan Anisa masih menantang dan panas, senyumnya masih menggoda. Kami sepakat untuk menjodohkan anak kami kelak, jika Tuhan mengijinkannya.
END
Jumat, 06 Agustus 2010
Langganan:
Postingan (Atom)